Monday, May 20, 2013

The Story of Dinno: Perjalanan Panjang Menebar Cinta (part 2)


Aku menelfon satu demi satu kawan-kawan PERFORMA. Minta mereka membantuku mencarikan ambulans untuk membawa Dinno ke kampung halamannya. Mereka tak ada satupun yang menyangka Dinno sudah benar-benar pergi. Saat aku menyampaikan bahwa Dinno overdosis, yang terlintas pada masing-masing mereka, Dinno hanya dirawat di RS dan akan segera pulih. Seperti yang terjadi pada beberapa kawan lain akhir-akhir ini.

"Dinno meninggal," tegasku. "Yang bener mbaaaakkk...," Indri setengah berteriak di seberang telfon. Sementara Anwar juga tak percaya, dan harus berulang-ulang bertanya apa aku serius. "Iya aku serius, War... Tolong segera carikan ambulans. Yang jelas jangan beritahu apa-apa pada Windy, ia masih di perjalanan, naik kereta. Aku takut ia pingsan di jalan," aku berpesan  panjang lebar pada Anwar.


Pesan singkat Windy masuk lagi ke ponselku.
"Gimana Dinno mbak ? Aku masih satu jam lagi di perjalanan."
Aku membalas, "Dinno masih dalam perawatan Win, dijagain anak-anak...". 
"Ok mba, ini aku bentar lagi sampe kok"

Satu jam aku lalui untuk menyelesaikan berbagai urusan penting di rumah, bersiap-siap jika saja aku harus mengantarkan jenazah Dinno siang atau sore ini juga. Aku kembali ke RS Kariadi lewat jalur yang berbeda, pintu belakang yang berbatasan langsung dengan pemakaman umum Bergota, menuju ruang jenazah.

Sumpah, puluhan tahun tinggal di Semarang, baru kali ini aku benar-benar menginjakkan kaki di ruang jenazah RS Kariadi. Selasar diapit oleh kursi-kursi kayu panjang. 3 kursi di sisi kanan telah dipenuhi kawan-kawan PERFORMA. Wajah mereka kusut, sekusut wajahku. Aku senang mereka ada, aku merasa tak sendiri, merasa kami masih keluarga, apapun konflik yang terjadi dalam organisasi. Mereka keluargaku.

Indri dan Tarmin menyongsongku, mendahuluiku menuju ruang memandikan jenazah. Sungguh, aku tak ingin melihat ruangan seperti itu seumur hidupku. Terlampau ngeri bagiku. Jajaran semen persegi panjang yang diatasnya jenazah-jenazah habis dimandikan diletakkan. Ada 3 di kiri dan 3 di kanan.

Ekor mata kiriku menangkap jenazah di tempat tidur semen, laki-laki, telanjang, penuh darah, dadanya remuk. Balutan perban di kepala. Aku tak sanggup lebih lama lagi memandang. Kubuang pandangan ke kanan, dimana jenazah Dinno terbaring. Belum dimandikan, masih berpakaian seperti saat ia dikirim ke RS. Yang berubah hanya warna kulitnya kian menghitam, membengkak di bagian wajah, dan bercak-bercak darah hitam di wajahnya makin terlihat.

Waktu serasa berdetik pelahan, melambat, diganduli puluhan kilo besi. Aku bisa mendengar detik lambat itu di kepalaku. Kami terpekur memandang tubuh kaku Dinno. Berkeliling di kiri kanan Dinno, tanpa mampu saling berkata apa. Kebekuan terpecah saat seorang berseragam coklat, petugas polisi, entah dari kesatuan mana, mendesakkan diri ke lingkaran yang kami bentuk. "Ada apa ini....Kenapa meninggalnya?," tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Wajahku pucat. Berurusan dengan polisi adalah hal biasa bagiku selama bekerja dengan pengguna NAPZA. Tapi disaat-saat terburuk seperti ini, aku seakan kehabisan tenaga untuk menghadapi mereka. Aku tak ingin polisi menyelidiki penyebab kematian Dinno, saat kami masih mengumpulkan tenaga untuk menguatkan Windy yang sebentar lagi tiba.

"Itu polisi lalu lintas kok mbaa, " seseorang berbisik di telingaku, aku lupa siapa. "Polisi lalu lintas yang mengurusi korban kecelakaan di sebelah kiri situ." Hfffft. Lega. Sesaat kemudian perasaanku berubah kesal. Polisi lalu lintas itu kok terus mau tahu urusan lain diluar tugasnya. Benar-benar keterlaluan.

Aku beranjak meninggalkan ruang pemandian jenazah, dan memilih menunggu bersama kawan-kawan di kursi kayu panjang. Kursi di sayap kiri sudah dipenuhi kawan-kawan sekampus Dinno, dan klien-klien pengguna NAPZA yang selama ini dilayani oleh Dinno. Lengkap sudah mereka hadir, aku menghitung-hitung dalam hati.

Di belakang kursiku di sayap kanan, Tarmin dan Henry memisahkan diri. Henry mewanti-wanti agar Tarmin jangan sampai salah bicara di depan keluarga Dinno. Faktanya, Dinno dan Henry bersama-sama membeli heroin yang menyebabkan kematian Dinno. Tarmin sebagai tuan rumah yang ditumpangi oleh Dinno di saat-saat terakhirnya, masih terlihat tertekan secara psikologis, belum lagi ia masih harus menghadapi berbagai pertanyaan dari orang-orang terdekat Dinno, yang sampai saat ini justru belum tahu bahwa Dinno sudah meninggal.

Kasak-kusuk juga kuamati terjadi di kursi kayu sayap kiri, klien-klien Dinno yang juga kawan-kawan kami sendiri, menceritakan peristiwa malam kemarin, ketika Dinno mengantarkan heroin pesanan seorang dari mereka dan sempat pakaw bareng mereka. Dinno terlihat baik-baik saja saat berpamitan pulang.

Dari keterangan Tarmin dan Henry, Dinno pertama pakaw di Ambarawa, saat pertama mendapatkan barang, pakaw kedua saat mengantar barang ke rumah Bonnie. Terakhir, sebelum tidur di rumah kos Tarmin. Total tiga kali pakaw. Belum lagi, di pagi hari, Dinno juga mengkonsumsi metadon. Ia baru saja mendaftar menjadi pasien 3 hari yang lalu.

Selain metadon, Dinno juga menenggak pil antidepresan yang diresepkan dokter untuk penanganan adiksinya. Ganja juga sempat dihisapnya dalam hari itu. Berbagai keterangan dari Tarmin, Henry, Bonnie membuatku terpekur. Tak mampu mencerna. Betapa Dinno sama sekali tidak memikirkan risiko yang dihadapinya, menggunakan berbagai jenis NAPZA dari golongan depresan dalam satu hari. Entah apa yang mendasarinya. Aku tak kuasa berfikir lebih jauh.

(to be continued)

Read: Part 1

-perempuancahaya-





No comments:

Post a Comment