Monday, January 6, 2014

Déjà vu

Poster Film "Slank" photo: twitter.com
“It has been said, 'time heals all wounds.' I do not agree. The wounds remain. In time, the mind, protecting its sanity, covers them with scar tissue and the pain lessens. But it is never gone.”
Rose Kennedy

 

Iseng. Aku tak berharap banyak dari film "Slank -Nggak Ada Matinya", selain memastikan akan terhibur mendengarkan cuplikan lagu-lagu Slank dari berbagai kurun waktu.

Aku bukan penggemar fanatik Slank, tapi mengakui banyak dari lirik dan melodi lagu-lagu mereka yang 'nempel' di memoriku tanpa sadar.

Aku lupa, latar belakang beberapa personil Slank yang pengguna NAPZA tentunya akan ikut diungkap dalam film ini. Menurut pengalaman, menonton film Indonesia yang bertopik NAPZA atau menampilkan kehidupan pengguna NAPZA kerap mengecewakan. Pendalaman sutradara tentang karakter pengguna NAPZA dangkal. Upaya menterjemahkan kehidupan pengguna NAPZA ke bahasa gambar yang mendekati situasi asli acapkali kurang berhasil.

Tokoh Kaka (diperankan Ricky Harun) dan Bimbim (diperankan Adipati Dolken) muncul di awal film dengan mata redup, bicara cadel dan punggung tangan yang berulang kali mengusap-usap hidung. Khas. Tapi tidak istimewa. Dapat ditirukan dengan mudah oleh para pemeran yang tidak pernah menggunakan NAPZA sekalipun. Aku belum terkesan.

Adegan demi adegan bergulir, potongan-potongan lagu memanjakan telinga dan memori. Banyak adegan lucu yang membuat aku tersenyum irit sampai dengan 'ngakak'. Salah satu adegan yang aku anggap lucu, ketika para personil Slank sedang berada di sebuah klub, dikelilingi perempuan-perempuan dalam pengaruh alkohol, yang mabuknya norak-norak bergembira. Lucu, karena sering terjadi di kehidupan nyata.


Adipati Dolken (tengah)
Akting Adipati Dolken membetot perhatianku. Awalnya aku tidak mengenali aktor muda yang memerankan Bimbim ini, walau pernah menyaksikan ia berperan di Perahu Kertas.

Keluar dari sinema, aku mencari nama pemeran Bimbim pada poster film yang tertempel di dinding. Oh ternyata dia. Yang aku kagum dari Adipati, ia pas mengatur berat badan untuk memerankan seorang pengguna heroin yang sedang kurus-kurusnya. (Ya, walaupun tidak semua pengguna heroin pasti kurus). Ekspresi wajahnya tepat porsi, tidak berlebihan, tidak juga kurang. Dapet banget. Sementara di film-film Indonesia yang kutonton sebelumnya, adegan penggunaan NAPZA selalu terlihat kelebihan bumbu, kurang alami.

Ngomong-ngomong ngalor ngidul gini, aku jadi ingat kejadian Oktober 2012 lalu, saat terakhir kali ngobrol panjang dengan Wulan (*Almh. Sekar Wulan Sari, Direktur Yayasan STIGMA). Wulan bercerita tentang keterlibatannya sebagai 'konsultan' adegan penggunaan NAPZA dalam film 'LOE GUE END' yang diangkat dari novel Zara Zettira. Zara sendiri yang meminta Wulan untuk meninjau langsung ke lokasi pengambilan gambar, memeriksa ketepatan properti yang berkaitan dengan adegan penggunaan heroin, serta memberi arahan pada para pemeran.

Dimas Beck - LOE GUE END
" Kaya gini Pon (*panggilan akrab Wulan ke aku, penyingkatan dari Ipon, pengucapan a la Sunda-nya Yvonne) , waktu itu properti yang disediakan jarum suntik gede ukuran 10 mili. Lah gw bilang aja, kaga ada pengguna heroin pake jarum segede gitu ... Akhirnya diganti dengan jarum yang 1 mili. Gw liat di meja itu banyak banget pernak pernik yang seharusnya ga perlu. Gw bilang supaya ditiadakan.., " Wulan panjang lebar menjelaskan padaku. " Gw juga praktekkin adegan ngrokok sambil giting... (adegan yang dilakoni Dimas Beck), yang pas itu seperti apa .... ". Sementara aku hanya bisa ber- ah-oh-ah-oh, membayangkan Wulan jadi mentor muka giting... Cool. Pasti seru. Sayangnya, efek yang terlalu heboh ditambahkan pada adegan Dimas menghirup heroin, justru menghilangkan kesan 'nyata' dalam adegan penting tersebut.


Sekar Wulan Sari, photo : Didit Saad - Instagram
O ya. I miss you, Lan ... Aku bakal nulis yang lucu-lucu tentangmu. Dan lebih dari itu, penggalan-penggalan kisah hidupmu. Walau kita sudah saling berjanji mau nulis bareng, dan akhirnya gagal. Tentu tinggal aku yang harus memenuhi janji menulis ini.

Balik lagi ke film Slank. Kegembiraan dan mood nyantaiku lenyap ketika rangkaian adegan  bergulir pada menggambarkan masa-masa tersulit dalam pemulihan adiksi Bimbim, Kaka dan Ivan. Dari adegan seorang dokter SpKJ (diperankan Hanung Bramantyo) meresepkan butir-butir obat racikan untuk terapi rawat jalan mereka bertiga. Ucapan dokter yang menyebutkan aturan penggunaan obat adalah 10 butir x 3 atau 4 ya (lupa), kontan memicu tawa penonton yang menganggap itu konyol. Didukung oleh ekspresi pemeran Kaka dan Ivan yang terlongong-longong di hadapan dokter, adegan ini memang dirancang untuk jadi lucu.

Bagiku, bening botol obat berisi tablet putih yang penuh sesak itu tidak lucu. Déjà vu, kembali ke 2008. Perjalanan kereta api, aku lupa dari mana ke mana. Tapi percakapannya aku ingat, "Ini namanya 'obat anjing' kak... diresepkan dokterku di Surabaya. Manjur untuk nahan wakas... ", Willy  menunjukkan botol obatnya padaku. "Siapa tahu kak Glenn mau coba, syukur-syukur kalo cocok ...," imbuhnya lagi. Aku tercenung bimbang. Antara ragu dan tertarik pada promosi Willy. Ya.. ya... siapa tahu pil-pil putih 'obat anjing' ini benar-benar manjur...

Siapa yang tahu. Bahwa pembicaraan diatas kemudian membawa hidupku berada dalam situasi paling tidak menyenangkan, yang sudah kukubur dalam-dalam. Jauh di kota berpantai indah, Goa-India. Aku ingat, aku akhirnya menamai pil-pil putih tersebut, 'obat babi'. Saking benci-ku pada efek yang ditimbulkannya, dan kejadian-kejadian buruk yang menimpaku. Demikian pedih kenangan akan pil-pil putih itu. Sudah 5 tahun aku lupakan tanpa pernah dibongkar-bongkar lagi... Tapi adegan dokter meresepkan pil di film Slank ini benar-benar merusak tatanan ketenangan yang sudah aku ciptakan sedemikian rupa.

Aku cuma menghela nafas panjang. Menghembuskannya pelahan. Berharap tidak terpengaruh akan pemandangan di layar lengkung raksasa tadi. Yang lalu biarlah berlalu. Tidak perlu membuat suasana hati terharu biru lagi.

Adegan bergulir, sosok 'Bimbim' erat menggenggam bungkusan heroin sambil berdiri di depan cermin. Tangan dan bibir bergetar tak terkendali, sementara tubuh kerempeng-nya melengkung serupa busur, menahan sakit. Wajahnya pucat, berkeringat. Sakaw. Walaupun belum pernah mengalami, tapi kawan-kawan perempuan pengguna heroin menggambarkan, gejala putus obat sakitnya 10 kali lipat perempuan melahirkan. Aku sudah pernah mengalami melahirkan. Dan itu sakitnya minta ampun. 10 kali lipat dari itu? Bisa dibayangkan, mengapa sakaw dihindari seperti menghindari raja setan.

Di ujung pertentangan batinnya, 'Bimbim' melemparkan plastik klip berisi heroin hingga tersebar di lantai. Ludes. Sejurus kemudian, ia menunduk penuh rasa penyesalan, memungut plastik kosong di lantai sambil menangis terguguk. Berperang antara mengenyahkan rasa sakit untuk sementara waktu, atau berjuang menghentikan ketergantungannya pada si bubuk putih. Di kursi penonton air mataku berleleran jatuh. Pundak 'Bimbim' terguncang-guncang mencoba meredam tangisannya sendiri, sementara tangannya meraup plastik klip kosong yang tadinya berisi heroin. Ini sudah diluar batas pertahananku.Ternyata aku belum bisa lupa. Belum bisa menghapus sakitnya menjadi saksi proses kematian yang pelahan. Tak terelakkan.

Déjà vu, ke 2009. Aku ingat lengan itu, yang penuh bintik-bintik bekas suntikan mengering, dan bekas suntikan baru yang membengkak merah. Darah mengucur dari bintik-bintik baru itu, diseka begitu saja olehnya menggunakan telapak tangan. Sosok Glenn meringkuk di sudut kamar, sudah 45 menit ia berada disitu. Lengan kanannya ia selipkan ke bawah lipatan lutut, cara yang biasa ia lakukan untuk membendung aliran darah, selain mengikat bagian atas siku dengan 'tourniquet'. Dengan tangan kiri, berkali-kali ia menusukkan jarum suntik ke lokasi-lokasi yang berbeda di seputar lengannya. Gagal lagi, gagal lagi. Pembuluh darahnya sudah menyempit oleh endapan bubuk buprenorfin. Perlu puluhan tusukan sampai berhasil menemukan vena yang masih mampu menampung cairan masuk.

Aku menatap nanar pada jarum suntik berisi darah merah tua bercampur heroin yang telah dicairkan. Darah yang awalnya berwarna merah segar, kemudian mengental dan berubah warna karena tak jua berhasil menembus vena. Tak sampai hati aku mengikuti ritual ini. Ini bukan bersenang-senang. Ini jalan menurun menuju kematian. Dan ini terjadi tiap hari. Beberapa kali dalam sehari. Yang menyaksikan saja sakit, apalagi yang mengalami. Aku ikut-ikutan bernafas lega bila ia berhasil mendapatkan vena yang tepat. Tenang. Sementara.

Aku merasa terlempar pulang dari masa lalu ke kursi penonton film Slank pada 2014. Bagaimana bisa, aktor berwajah pucat ini demikian mampu menghidupkan karakter seorang pecandu? Ia hanya seorang pemeran, bukan Glenn. Bukan. Diam-diam kuseka airmataku. Bagian pundak bajuku basah dan hangat. Kini, Glenn sudah tenang dalam pelukan bumi, tidak perlu lagi berkutat dengan jarum, darah dan vena. Dan film Slank-pun sudah berakhir dengan bahagia. Kehidupan terus berjalan. Seburuk apapun yang telah dilalui, manusia tetap punya kesempatan kesekian. Itu pesan moralnya.

P.S: Terakhir, kalau aku punya kesempatan bertemu langsung dengan Adipati Dolken, pasti aku bakal bertanya, "Elo beneran pernah make, bro ?. Asli mirip bangeeet .. ".  Ini ungkapan kagum. Serius.


comfy nest, Jan 6, 2014 (03.01 a.m.)


No comments:

Post a Comment