Monday, May 20, 2013

The Story of Dinno: Perjalanan Panjang Menebar Cinta (part 3)

Windy tiba. Ia dijemput Anwar di stasiun kereta api Poncol. Anwar belum bilang bahwa Dinno sudah meninggal.Suara motor Anwar menggerung, melengking, sebelum mesinnya akhirnya dimatikan. Semua mata di ruang tunggu jenazah menatap siapa yang datang. Windy, istri Dinno. Semua cemas akan reaksi Windy.

Raut muka Windy meringis seakan menahan rajaman benda tajam. Paras wajahnya yang kuning terang, kini memerah ketika ia menyadari semua kawan-kawannya berkumpul di ruang tunggu kamar jenazah.

Ya Allaaaaah…..mas Dinno……. Kenapa aku diantar ke sini, Waaaar ? Dinno kenapaaaa…..?” Windy meloncat dari boncengan sepeda motor Anwar, setengah berlari ia mendekati ruang tunggu kamar jenazah. “Ya Allaaaah….aku sudah curiga….aku sudah curiga….,” isaknya sambil terus menyebut nama Allah.

Mataku sudah tak sanggup menahan luncuran air mata. Indri mendahuluiku menyambut dan memeluk tubuh lunglai Windy, menuntunnya memasuki kamar jenazah. “Ya Allaaaaah, maaaas…..kowe kok tega ninggalke akuuuu maaaas…. kowe kenapa Ya Allaaaah…..,” Windy menubruk tubuh kaku Dinno. Diciuminya wajah kaku Dinno, ditepuk-tepuknya pipi yang sudah membengkak dan kian berwarna gelap itu. “Kamu sakit opo tho mas…..kenapa aku ndak tahuuu…., “ Windy terguguk, dada kurusnya terguncang-guncang keras.

Aku menguatkan diriku meminta maaf pada Windy, menjelaskan alasan mengapa aku tidak berterus terang bahwa Dinno sudah meninggal. Bahwa aku tidak ingin Windy mengetahui keadaan itu selama ia belum mencapai Semarang. Aku kuatir ia pingsan di kereta api. Aku juga menjelaskan secara singkat, Dinno meninggal karena overdosis. Windy tidak terlihat terkejut. Ia tahu, beberapa tahun terakhir suaminya mengalami masalah dalam penggunaan napza. Penggunaan yang tidak terkendali. Ketergantungan. Tapi tentu saja, tidak ada seorang pun yang pernah siap kehilangan orang yang dikasihi, termasuk Windy.

Aku membiarkan Windy larut dalam dukanya. Ia terlihat berbincang dengan Tarmin, menanyakan kondisi terakhir Dinno secara rinci. Mereka terlihat sangat serius. Kalau boleh memilih, aku tidak ingin berada pada posisi Tarmin saat ini. Ia orang terakhir yang menyaksikan Dinno hidup. Semua orang akan banyak bertanya padanya. Terutama pihak keluarga Dinno.

Keluarga Dinno tiba dari Pati. Kakak perempuan dan kakak lelakinya. Orang tua Dinno tidak ikut serta, karena mereka sudah terlalu tua. Tidak sanggup menempuh perjalanan jarak jauh. Sebelum kedatangan keluarga Dinno, Windy sudah memutuskan tidak akan memberi tahu penyebab kematian Dinno pada keluarga besar mertuanya. Hanya kakak laki-laki Dinno yang tahu bahwa adiknya mengalami ketergantungan napza, dan hanya dia yang diberitahu. Kepada kakak perempuan Dinno, Windy memberi keterangan, Dinno meninggal karena serangan asma.

Kakak perempuan Dinno, mbak Nuning, tampak pasrah. Hendak berbuat apa? Ia harus kehilangan adik bungsunya yang kuliah-nya pun belum tuntas, tanpa ada firasat apa-apa sebelumnya. Berkali-kali ia menyesali, kenapa ia tidak punya firasat apa pun.

Mbak Nuning menyampaikan padaku, ia mendapat pesan dari orang tua Dinno, agar jenazah Dinno bisa dibawa ke Pati untuk dimakamkan di sana. Orang tua Dinno ingin bisa sering-sering menyambangi makam anak mereka. Aku menyarankan agar mbak Nuning berbicara langsung pada Windy, karena secara hukum, yang berhak menentukan lokasi pemakaman adalah istri almarhum Dinno.

Kemudian aku meninggalkan mbak Nuning dan suaminya, kakak laki-laki Dinno, mas Andar belakangan bergabung berembug mengenai pemakaman di samping kantor administrasi kamar jenazah. Windy juga dipanggil untuk ikut berembug.

Tak berapa lama, aku mendengar suara Windy menangis menjerit-jerit dari lokasi mereka berembug. “Aku nggak mauuuu……aku nggak mauuuuu….AKU NGGAK RELA mas Dinno dibawa ke Pati……Aku nggak mauuuu…..!!!

Kami yang ada di ruang tunggu dapat mendengar raungan Windy dengan jelas. Kata-kata itu diulanginya terus menerus. Windy ingin jenazah Dinno dimakamkan di Bojonegoro. Di kampung halaman Windy. Supaya anak mereka Mariska bisa sering-sering menengok makam ayahnya, demikian alasan Windy.

Tapi rupanya, keluarga Dinno juga mempertahankan niat untuk membawa jenazah Dinno ke Pati. Kakak-kakak Dinno tidak sanggup menghadapi kesedihan orang tua mereka, bila jenazah Dinno tidak dimakamkan di Pati. Mereka berusaha membujuk-bujuk Windy. “Tolonglah Win…..biar Dinno kami bawa ke Pati saja ya ndhuk….kasian bapak sama ibu…. biar mereka bisa nengok-nengok makamnya Dinno lebih sering….boleh ya ndhuuuk…,”iba mbak Nuning pada Windy.

Engggaaaak maaauuuu……Aku enggak mauuuuuu, mbaaak….!!!, “Windy justru kian histeris. “Dinno nggak mau pisah sama aku mbak Nuning…. Kita susah senang selalu sama-sama. Punya uang atau enggak punya uang, aku selalu di sampingnya Dinno. Makan nasi kucing sebungkus pun kita bagi dua, mbaaaak…. Kalau mbak mau tahu bagaimana dulu kami susah…,” racau Windy.
Waktu dulu kami susah makan….kalian pada ke mana? Sekarang kalian mau ambil Dinno dari aku? Aku enggak bakal relaaa…..”, Windy menjerit-jerit kian lantang.

Jenazah sudah selesai dimandikan dan telah rapi diletakkan dalam keranda. Oleh petugas kamar jenazah, keranda kemudian dimasukkan ke ambulans yang terparkir di ruang tunggu jenazah. Siap untuk diberangkatkan. Masalahnya, berangkat ke mana? Ini yang belum jelas. Padahal hari sudah hampir gelap.

Kami harap-harap cemas menunggu keputusan rapat keluarga tersebut. Kami dikejutkan oleh Windy yang berlari ke ruang tunggu jenazah, lalu ia membuang dirinya di depan mobil jenazah, tepat di depan roda mobil. Mesin ambulans memang sudah dinyalakan, rupanya suara mesin ini yang memicu kenekadan Windy. Ia kuatir pihak rumah sakit lebih menuruti permintaan keluarga almarhum suaminya untuk bertolak ke Pati.

Biar aku matiiiii! Ayo tabrak aku kalau berani bawa Dinno ke Pati….Mending aku mati di siniiii…..Ayooo, tabrak saja akuuu….,“ Windy kian tak terkendali. Aku tak tahan lagi. Mau tak mau aku harus turun tangan. Kami semua sudah berjam-jam menunggu di sini. Dan hari sudah gelap. Aku memberi isyarat agar Indri membujuk Windy agar tenang. Indri memahami isyaratku. Sementara aku mengajak keluarga Dinno untuk bicara di ruang samping kantor administrasi kamar jenazah.

Begini mbak Nuning…. saya minta maaf bila saya ikut campur urusan keluarga mbak Nuning. Tapi saya pikir, bila dibiarkan, maka akan berlarut-larut urusannya. Karena Windy tidak rela Dinno dibawa ke Pati. Dan secara hukum, Windy berhak menentukan ke mana jenazah suaminya akan di bawa. Windy istri sah-nya Dinno loh mbak….” ujarku apa adanya. “Mbak Nuning bisa menghadapi tuntutan hukum bila memaksa membawa jenazah Dinno. Sebaiknya mengalah saja mbak….walaupun saya paham, keluarga Dinno juga sama berdukanya seperti Windy…,” imbuhku. Selain bicara fakta hukum, aku juga lebih khawatir pada kestabilan jiwa Windy.

Untungnya, mbak Nuning akhirnya mau mengalah. Dengan berat hati tentunya. Aku keluar menenangkan Windy, dan memberi pesan-pesan singkat padanya agar tegar mengantar jenazah Dinno malam ini ke Bojonegoro. Esok pagi, kami semua akan menyusul untuk menghadiri pemakaman Dinno.

Windy duduk di samping pengemudi ambulans. Aku memeluknya, kawan-kawan semua memeluknya. Kami berjanji untuk datang tepat waktu di acara pemakaman esok. Keluarga Dinno ikut mengantar jenazah ke Bojonegoro, mereka semua duduk di bagian belakang ambulans. Di samping jenazah.

Sirene ambulans dihidupkan. Suaranya melengking-lengking menyayat. Suara mesin ambulans tua bercat putih itu berderak berisik. Sinar lampu membelah kegelapan malam. Kemudian menghilang di balik gerbang ruang jenazah, menuju Bojonegoro.

Sampai nanti, Dinno. (Selesai)


-> kembali ke bagian DUA
-> kembali ke bagian SATU

No comments:

Post a Comment