Windy
tiba. Ia dijemput Anwar di stasiun kereta api Poncol. Anwar belum bilang
bahwa Dinno sudah meninggal.Suara motor Anwar menggerung, melengking,
sebelum mesinnya akhirnya dimatikan. Semua mata di ruang tunggu jenazah
menatap siapa yang datang. Windy, istri Dinno. Semua cemas akan reaksi
Windy.
Raut
muka Windy meringis seakan menahan rajaman benda tajam. Paras wajahnya
yang kuning terang, kini memerah ketika ia menyadari semua
kawan-kawannya berkumpul di ruang tunggu kamar jenazah.
“Ya Allaaaaah…..mas Dinno……. Kenapa aku diantar ke sini, Waaaar ? Dinno kenapaaaa…..?” Windy meloncat dari boncengan sepeda motor Anwar, setengah berlari ia mendekati ruang tunggu kamar jenazah. “Ya Allaaaah….aku sudah curiga….aku sudah curiga….,” isaknya sambil terus menyebut nama Allah.
Mataku
sudah tak sanggup menahan luncuran air mata. Indri mendahuluiku
menyambut dan memeluk tubuh lunglai Windy, menuntunnya memasuki kamar
jenazah. “Ya Allaaaaah, maaaas…..kowe kok tega ninggalke akuuuu maaaas…. kowe kenapa Ya Allaaaah…..,”
Windy menubruk tubuh kaku Dinno. Diciuminya wajah kaku Dinno,
ditepuk-tepuknya pipi yang sudah membengkak dan kian berwarna gelap itu.
“Kamu sakit opo tho mas…..kenapa aku ndak tahuuu…., “ Windy terguguk, dada kurusnya terguncang-guncang keras.
Aku
menguatkan diriku meminta maaf pada Windy, menjelaskan alasan mengapa
aku tidak berterus terang bahwa Dinno sudah meninggal. Bahwa aku tidak
ingin Windy mengetahui keadaan itu selama ia belum mencapai Semarang.
Aku kuatir ia pingsan di kereta api. Aku juga menjelaskan secara
singkat, Dinno meninggal karena overdosis. Windy tidak terlihat
terkejut. Ia tahu, beberapa tahun terakhir suaminya mengalami masalah
dalam penggunaan napza. Penggunaan yang tidak terkendali.
Ketergantungan. Tapi tentu saja, tidak ada seorang pun yang pernah siap
kehilangan orang yang dikasihi, termasuk Windy.
Aku
membiarkan Windy larut dalam dukanya. Ia terlihat berbincang dengan
Tarmin, menanyakan kondisi terakhir Dinno secara rinci. Mereka terlihat
sangat serius. Kalau boleh memilih, aku tidak ingin berada pada posisi
Tarmin saat ini. Ia orang terakhir yang menyaksikan Dinno hidup. Semua
orang akan banyak bertanya padanya. Terutama pihak keluarga Dinno.
Keluarga
Dinno tiba dari Pati. Kakak perempuan dan kakak lelakinya. Orang tua
Dinno tidak ikut serta, karena mereka sudah terlalu tua. Tidak sanggup
menempuh perjalanan jarak jauh. Sebelum kedatangan keluarga Dinno, Windy
sudah memutuskan tidak akan memberi tahu penyebab kematian Dinno pada
keluarga besar mertuanya. Hanya kakak laki-laki Dinno yang tahu bahwa
adiknya mengalami ketergantungan napza, dan hanya dia yang diberitahu.
Kepada kakak perempuan Dinno, Windy memberi keterangan, Dinno meninggal
karena serangan asma.
Kakak
perempuan Dinno, mbak Nuning, tampak pasrah. Hendak berbuat apa? Ia
harus kehilangan adik bungsunya yang kuliah-nya pun belum tuntas, tanpa
ada firasat apa-apa sebelumnya. Berkali-kali ia menyesali, kenapa ia
tidak punya firasat apa pun.
Mbak
Nuning menyampaikan padaku, ia mendapat pesan dari orang tua Dinno,
agar jenazah Dinno bisa dibawa ke Pati untuk dimakamkan di sana. Orang
tua Dinno ingin bisa sering-sering menyambangi makam anak mereka. Aku
menyarankan agar mbak Nuning berbicara langsung pada Windy, karena
secara hukum, yang berhak menentukan lokasi pemakaman adalah istri
almarhum Dinno.
Kemudian
aku meninggalkan mbak Nuning dan suaminya, kakak laki-laki Dinno, mas
Andar belakangan bergabung berembug mengenai pemakaman di samping kantor
administrasi kamar jenazah. Windy juga dipanggil untuk ikut berembug.
Tak berapa lama, aku mendengar suara Windy menangis menjerit-jerit dari lokasi mereka berembug. “Aku nggak mauuuu……aku nggak mauuuuu….AKU NGGAK RELA mas Dinno dibawa ke Pati……Aku nggak mauuuu…..!!! “
Kami
yang ada di ruang tunggu dapat mendengar raungan Windy dengan jelas.
Kata-kata itu diulanginya terus menerus. Windy ingin jenazah Dinno
dimakamkan di Bojonegoro. Di kampung halaman Windy. Supaya anak mereka
Mariska bisa sering-sering menengok makam ayahnya, demikian alasan
Windy.
Tapi
rupanya, keluarga Dinno juga mempertahankan niat untuk membawa jenazah
Dinno ke Pati. Kakak-kakak Dinno tidak sanggup menghadapi kesedihan
orang tua mereka, bila jenazah Dinno tidak dimakamkan di Pati. Mereka
berusaha membujuk-bujuk Windy. “Tolonglah
Win…..biar Dinno kami bawa ke Pati saja ya ndhuk….kasian bapak sama
ibu…. biar mereka bisa nengok-nengok makamnya Dinno lebih sering….boleh
ya ndhuuuk…,”iba mbak Nuning pada Windy.
“Engggaaaak maaauuuu……Aku enggak mauuuuuu, mbaaak….!!!, “Windy justru kian histeris.
“Dinno nggak mau pisah sama aku mbak Nuning…. Kita susah senang selalu
sama-sama. Punya uang atau enggak punya uang, aku selalu di sampingnya
Dinno. Makan nasi kucing sebungkus pun kita bagi dua, mbaaaak…. Kalau
mbak mau tahu bagaimana dulu kami susah…,” racau Windy.
“Waktu dulu kami susah makan….kalian pada ke mana? Sekarang kalian mau ambil Dinno dari aku? Aku enggak bakal relaaa…..”, Windy menjerit-jerit kian lantang.
Jenazah
sudah selesai dimandikan dan telah rapi diletakkan dalam keranda. Oleh
petugas kamar jenazah, keranda kemudian dimasukkan ke ambulans yang
terparkir di ruang tunggu jenazah. Siap untuk diberangkatkan.
Masalahnya, berangkat ke mana? Ini yang belum jelas. Padahal hari sudah
hampir gelap.
Kami
harap-harap cemas menunggu keputusan rapat keluarga tersebut. Kami
dikejutkan oleh Windy yang berlari ke ruang tunggu jenazah, lalu ia
membuang dirinya di depan mobil jenazah, tepat di depan roda mobil.
Mesin ambulans memang sudah dinyalakan, rupanya suara mesin ini yang
memicu kenekadan Windy. Ia kuatir pihak rumah sakit lebih menuruti
permintaan keluarga almarhum suaminya untuk bertolak ke Pati.
“Biar aku matiiiii! Ayo tabrak aku kalau berani bawa Dinno ke Pati….Mending aku mati di siniiii…..Ayooo, tabrak saja akuuu….,“
Windy kian tak terkendali. Aku tak tahan lagi. Mau tak mau aku harus
turun tangan. Kami semua sudah berjam-jam menunggu di sini. Dan hari
sudah gelap. Aku memberi isyarat agar Indri membujuk Windy agar tenang.
Indri memahami isyaratku. Sementara aku mengajak keluarga Dinno untuk
bicara di ruang samping kantor administrasi kamar jenazah.
“Begini
mbak Nuning…. saya minta maaf bila saya ikut campur urusan keluarga
mbak Nuning. Tapi saya pikir, bila dibiarkan, maka akan berlarut-larut
urusannya. Karena Windy tidak rela Dinno dibawa ke Pati. Dan secara
hukum, Windy berhak menentukan ke mana jenazah suaminya akan di bawa.
Windy istri sah-nya Dinno loh mbak….” ujarku apa adanya. “Mbak
Nuning bisa menghadapi tuntutan hukum bila memaksa membawa jenazah
Dinno. Sebaiknya mengalah saja mbak….walaupun saya paham, keluarga Dinno
juga sama berdukanya seperti Windy…,” imbuhku. Selain bicara fakta hukum, aku juga lebih khawatir pada kestabilan jiwa Windy.
Untungnya,
mbak Nuning akhirnya mau mengalah. Dengan berat hati tentunya. Aku
keluar menenangkan Windy, dan memberi pesan-pesan singkat padanya agar
tegar mengantar jenazah Dinno malam ini ke Bojonegoro. Esok pagi, kami
semua akan menyusul untuk menghadiri pemakaman Dinno.
Windy
duduk di samping pengemudi ambulans. Aku memeluknya, kawan-kawan semua
memeluknya. Kami berjanji untuk datang tepat waktu di acara pemakaman
esok. Keluarga Dinno ikut mengantar jenazah ke Bojonegoro, mereka semua
duduk di bagian belakang ambulans. Di samping jenazah.
Sirene
ambulans dihidupkan. Suaranya melengking-lengking menyayat. Suara mesin
ambulans tua bercat putih itu berderak berisik. Sinar lampu membelah
kegelapan malam. Kemudian menghilang di balik gerbang ruang jenazah,
menuju Bojonegoro.
Sampai nanti, Dinno. (Selesai)
-> kembali ke bagian DUA
-> kembali ke bagian SATU
No comments:
Post a Comment