Saturday, July 11, 2009

Tiris

" Kamu tahu ..? Namaku punya arti CINTA tapi aku tak pernah merasakan apa itu cinta...", mata Hilir memerah menatap Rinai lekat dalam. Lalu kenapa? Rinai menghela nafas setengah hati, setengah percaya setengah tidak. Baginya, Hilir hanya sesosok pribadi asing  yang kebetulan berada di satu tempat di satu ruang dengannya. Dan bagi Rinai, Hilir tak perlu terlalu ia pusingkan .
 
" Coba kamu dengar lagu yang satu ini....". Hilir meraih i-phone yang ia letakkan terserak diantara tumpukan berkas-berkas tak teratur. Diputarnya untuk Rinai sebuah lagu yang  asing dan tidak mengesankan. Rinai nyaris terjerembab ke depan..ketika Hilir menyentakkan tubuhnya dari kursi goyang tempat ia setengah rebah, dan membawa tubuh Rinai yang limbung ke pelukannya. 

Rinai mengejang dan ingin berjingkat mundur, tapi tangan kukuh Hilir tak memberikan ruang untuknya bergerak. "Kamu bisa berdansa?", sambarnya ditingkahi suara musik yang mendayu-dayu dan asing tadi. Rinai menggeleng keras-keras, " Tidak bisa ". Tapi Hilir tak mendengar atau sepertinya ia pura-pura tak mendengar. Tangan kirinya memeluk pinggang Rinai, dan tangan kanannya melingkari punggung Rinai. Hilir berayun mengikuti irama musik , sambil membawa tubuh Rinai yang mau tidak mau mengikuti kemana ia bergeser, sambil dengan enggan melingkarkan tangan di seputar pundak Hilir.

Hilir menggumam, berputar, berjingkat sambil memejamkan mata. Rinai mengeluh dalam hati dan bertanya-tanya apakah Hilir terlalu banyak meneguk anggur merah yang dibuka bersama sore tadi. Tapi sepertinya bukan, memang ia sengaja menghanyutkan diri dalam kenangan, yang hanya ia pahami sendiri. 

" Ini lagu yang menyedihkan, Rinai...", Hilir akhirnya mengajaknya bicara. Tentang seorang lelaki yang tak kunjung menemukan kekasih hati. Hilir menatapnya lagi sambil menerawang jauh, pikiran lelaki itu ada di tempat lain. Sambil memeluk Rinai makin erat, gumaman Hilir terus mengalun seiring suara erangan musik yang asing . Rinai menghentikan gerakan Hilir, dan menarik mundur dirinya pelahan, " Maaf, aku lelah ...Boleh aku kembali ke kursiku? ". Hilir terlengak, pandangannya nanar, " Kenapa ? Kamu tidak mau menemani aku ? ". 

Rinai tersenyum kecut dan membenamkan diri dalam pelukan bantal besar di kursi goyang. Ia memejamkan mata sambil berharap Hilir tak mengusiknya lagi. Tapi Rinai salah. Nyaris rontok jantungnya saat menyadari wajah Hilir ada di depan wajahnya saat ia membuka mata. Hilir terlihat mengamatinya seperti menemukan benda aneh, kening berkerut dan berfikir, kemudian ia menerawang lagi. " Ada apa?  ", cetus Rinai. " Ada yang salah dengan diriku ? Kenapa menatapku seperti itu....? ". 

Hilir mengedikkan kepala seakan mengusir sesuatu, " Rinai, berbagi ruangan dengan gadis secantik kamu....Apa aku bisa tahan..., untuuuuk...tidak menyukaimu...? ". Rinai menatap Hilir tajam dan mendengus kecil, lalu tertawa. Tapi Rinai tidak berkata-kata lebih lanjut. Rinai tidak merasakan apa-apa.

Harus berdua-duaan dengan lelaki asing, di tempat yang asing, baginya bukan suatu hal yang luar biasa. Perilaku dan segala jenis jurus rahasia makhluk lelaki sudah dihafalnya luar kepala, jadi tidak ada yang perlu dipusingkan dan dicemaskan.

Rinai merasa dirinya seperti buah apel merah impor, yang sedap dipandang, halus diraba...tapi bila dimakan rasanya lebih mirip gabus dan tidak nikmat sama sekali. Seluruh rasa ketulusan yang manis dalam diri seorang Rinai telah tiris, dihisap oleh lintah-lintah rakus yang silih berganti menyaru menjadi makhluk menarik bernama lelaki.

Entah mengapa Rinai tak mampu membenci lelaki. Walau Rinai juga tak mampu mempercayai dan berfikir positif tentang mereka. Di balik senyum Rinai yang seakan terpikat, ada hampa, ada kosong....ada perasaan apatis, ada pengingkaran ....

Rinai takut suatu saat nanti ia akan mati rasa, karena sekarang ia menilai nyaris. Rinai merasa tiris....tiris...

No comments:

Post a Comment