"
Kamu tahu ..? Namaku punya arti CINTA tapi aku tak pernah merasakan apa
itu cinta...", mata Hilir memerah menatap Rinai lekat dalam. Lalu
kenapa? Rinai menghela nafas setengah hati, setengah percaya setengah
tidak. Baginya, Hilir hanya sesosok pribadi asing yang kebetulan berada
di satu tempat di satu ruang dengannya. Dan bagi Rinai, Hilir tak perlu
terlalu ia pusingkan .
"
Coba kamu dengar lagu yang satu ini....". Hilir meraih i-phone yang ia
letakkan terserak diantara tumpukan berkas-berkas tak teratur.
Diputarnya untuk Rinai sebuah lagu yang asing dan tidak mengesankan.
Rinai nyaris terjerembab ke depan..ketika Hilir menyentakkan tubuhnya
dari kursi goyang tempat ia setengah rebah, dan membawa tubuh Rinai yang
limbung ke pelukannya.
Rinai mengejang
dan ingin berjingkat mundur, tapi tangan kukuh Hilir tak memberikan
ruang untuknya bergerak. "Kamu bisa berdansa?", sambarnya ditingkahi
suara musik yang mendayu-dayu dan asing tadi. Rinai menggeleng
keras-keras, " Tidak bisa ". Tapi Hilir tak mendengar atau sepertinya ia
pura-pura tak mendengar. Tangan kirinya memeluk pinggang Rinai, dan
tangan kanannya melingkari punggung Rinai. Hilir berayun mengikuti irama
musik , sambil membawa tubuh Rinai yang mau tidak mau mengikuti kemana
ia bergeser, sambil dengan enggan melingkarkan tangan di seputar pundak
Hilir.
Hilir
menggumam, berputar, berjingkat sambil memejamkan mata. Rinai mengeluh
dalam hati dan bertanya-tanya apakah Hilir terlalu banyak meneguk anggur
merah yang dibuka bersama sore tadi. Tapi sepertinya bukan, memang ia
sengaja menghanyutkan diri dalam kenangan, yang hanya ia pahami sendiri.
"
Ini lagu yang menyedihkan, Rinai...", Hilir akhirnya mengajaknya
bicara. Tentang seorang lelaki yang tak kunjung menemukan kekasih hati.
Hilir menatapnya lagi sambil menerawang jauh, pikiran lelaki itu ada di
tempat lain. Sambil memeluk Rinai makin erat, gumaman Hilir terus
mengalun seiring suara erangan musik yang asing . Rinai menghentikan
gerakan Hilir, dan menarik mundur dirinya pelahan, " Maaf, aku lelah
...Boleh aku kembali ke kursiku? ". Hilir terlengak, pandangannya nanar,
" Kenapa ? Kamu tidak mau menemani aku ? ".
Rinai
tersenyum kecut dan membenamkan diri dalam pelukan bantal besar di
kursi goyang. Ia memejamkan mata sambil berharap Hilir tak mengusiknya
lagi. Tapi Rinai salah. Nyaris rontok jantungnya saat menyadari wajah
Hilir ada di depan wajahnya saat ia membuka mata. Hilir terlihat
mengamatinya seperti menemukan benda aneh, kening berkerut dan berfikir,
kemudian ia menerawang lagi. " Ada apa? ", cetus Rinai. " Ada yang
salah dengan diriku ? Kenapa menatapku seperti itu....? ".
Hilir
mengedikkan kepala seakan mengusir sesuatu, " Rinai, berbagi ruangan
dengan gadis secantik kamu....Apa aku bisa tahan..., untuuuuk...tidak
menyukaimu...? ". Rinai menatap Hilir tajam dan mendengus kecil, lalu
tertawa. Tapi Rinai tidak berkata-kata lebih lanjut. Rinai tidak
merasakan apa-apa.
Harus
berdua-duaan dengan lelaki asing, di tempat yang asing, baginya bukan
suatu hal yang luar biasa. Perilaku dan segala jenis jurus rahasia
makhluk lelaki sudah dihafalnya luar kepala, jadi tidak ada yang perlu
dipusingkan dan dicemaskan.
Rinai
merasa dirinya seperti buah apel merah impor, yang sedap dipandang,
halus diraba...tapi bila dimakan rasanya lebih mirip gabus dan tidak
nikmat sama sekali. Seluruh rasa ketulusan yang manis dalam diri seorang
Rinai telah tiris, dihisap oleh lintah-lintah rakus yang silih berganti
menyaru menjadi makhluk menarik bernama lelaki.
Entah
mengapa Rinai tak mampu membenci lelaki. Walau Rinai juga tak mampu
mempercayai dan berfikir positif tentang mereka. Di balik senyum Rinai
yang seakan terpikat, ada hampa, ada kosong....ada perasaan apatis, ada
pengingkaran ....
Rinai takut suatu saat nanti ia akan mati rasa, karena sekarang ia menilai nyaris. Rinai merasa tiris....tiris...
No comments:
Post a Comment